Grenn Hell
"Green Hell"
Alexandro dan Michael, dua arkeolog muda dengan semangat tak kenal takut, mendapatkan informasi tentang artefak kuno yang tersembunyi di dalam Hutan Darah, sebuah tempat terkenal dengan legenda suku kanibal yang brutal. Dengan peta tua di tangan dan peralatan ekspedisi yang terbatas, mereka memutuskan untuk mencari artefak itu, meskipun peringatan dari penduduk desa setempat terus terngiang di telinga mereka. "Jika kalian masuk, kalian mungkin tidak akan keluar hidup-hidup," kata kepala desa dengan nada serius.
Setelah dua hari menembus lebatnya hutan, mereka menemukan reruntuhan kuno yang dipenuhi ukiran dinding berbentuk tengkorak. Alexandro memeriksa ukiran itu dengan hati-hati, sementara Michael menjaga daerah sekitarnya. Namun, suasana mulai berubah ketika mereka mendengar suara langkah kaki samar dari balik pepohonan. "Kita diawasi," bisik Michael. Belum sempat mereka bereaksi, sebuah tombak meluncur dan menancap di pohon dekat mereka. Tanpa berpikir panjang, keduanya lari menyelamatkan diri, masuk lebih dalam ke hutan.
Setelah berhasil menghindari bahaya, mereka berlindung di sebuah gua kecil untuk bermalam. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Di tengah malam, mereka terbangun oleh cahaya obor yang mendekat. Sekelompok suku kanibal, dengan tubuh dilumuri cat merah dan hitam, berdiri di depan gua. Mereka tidak menyerang, hanya mengamati dengan tatapan penuh ancaman. Alexandro, yang memegang peta, mencoba berkomunikasi dengan menunjukkan lokasi artefak di peta tersebut. Salah satu dari mereka, yang tampaknya adalah pemimpin, tampak mengenali simbol itu dan mengangguk dengan perlahan.
Pagi harinya, mereka dikawal oleh suku tersebut menuju lokasi artefak, sebuah altar yang tersembunyi di bawah akar pohon besar. Artefak itu adalah patung kayu yang dihiasi permata, melambangkan dewa perang suku tersebut. Namun, saat Alexandro dan Michael mencoba menyentuhnya, suasana berubah tegang. Pemimpin suku memberikan isyarat untuk berhenti. Michael segera menyadari bahwa artefak itu dianggap keramat dan tidak boleh disentuh oleh orang luar. Dengan cerdik, Alexandro menawarkan untuk membersihkan altar dari puing-puing yang menutupinya sebagai tanda penghormatan.
Usaha mereka diterima, dan sebagai imbalan, suku itu membiarkan mereka pergi dengan membawa salinan peta lain yang menunjukkan rute aman keluar dari hutan. Meskipun mereka tidak membawa pulang artefak asli, pengalaman itu menjadi pelajaran berharga tentang penghormatan terhadap budaya asing dan batasan dalam eksplorasi. Saat mereka kembali ke desa, Michael berbisik kepada Alexandro, "Kadang, bertahan hidup adalah pencapaian terbesar dalam sebuah petualangan."
Komentar
Posting Komentar